Rabu, 10 Februari 2016

Sisi Lain

Seseorang selalu menilai yang tampak dan terungkapkan. Hati manusia mudah terbeli dengan kebaikan. Mudah menyimpulkan sempurna pada kekagumannya. Padahal kesempurnaan itu tak pernah mungkin ada. Mereka luput untuk curiga bahwa yang ditampakkan mungkin hanya sebuah pemakaman penuh dekorasi yang di dalamnya seonggok jasad yang telah koyak. Sehelai ruh yang gemetar didakwa malikat . Mereka alpa bahwa yang diungkapkan barangkali memang itulah satu-satunya yang membuatnya memiliki, atau setidaknya merasa memiliki nilai. Mungkin memang tak menarik, menyibak tirai yang ternyata adalah sebuah kegelapan di baliknya. Sebab tak banyak yang bisa kita lakukan di dalam kegelapan. Tak ada warna yang bisa membahagiakan mata. Tak akan tertangkap oleh penglihatan betapa pun ada banyak kepuasan di dalamnya. Tak pula bisa leluasa langkah kaki melaju. Juga hati yang tetap ketakutan meski dijaga seribu peri. Maka mungkin begitulah yang disebut sempurna.Begitu benderang, bersih, putih. Hingga setitik saja warna tertumpah di atasnya akan tertawan juga. Semakin tampak bersih dari noda, semakin menghujam rasa kecewa ketika tertitis titik di atasnya. Padahal tinggal dibersihkan saja noda yang setitik itu. Dengan penuh harap tak ternoda lagi, meski juga ada cemas bahwa akan terulang kembali. Tapi bahkan kita tak pernah kehabisan air bersih untuk membersihkan segala yang kotor. Oh, tak perlu gusar. Ini Cuma racauan yang mengacaukan. Maafkan.

Senin, 09 November 2015

Menyusun Bata

Benar yang dikatakan kak is. Kita memang perlu menuliskan apa yang sudah kita alami. Bukan karena ingin dikenang orang lain atau sekedar dokumentasi pribadi. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua: semoga ada yang orang lain pelajari dari kisah kita yang barangkali tak seberapa ini. *** Satu tahun yang lalu. Tak sengaja saya membuka facebook. Yang pertama kali muncul di beranda saya adalah gambar barcode pin BBM kak Is. Iseng saja saya invite. Tak perlu menunggu lama, saya agak kaget pertemanan saya diterima. Tak ada reaksi lain hari itu. Tak ada salam perkenalan atau apa pun. Dua hari berikutnya saya membaca pm kak Is, “Give up.” Lagi-lagi saya hanya iseng mengomentari status BBM nya itu. “Never give up, om.” Tak ada harapan saya untuk ditanggapi atau apa pun. Sebab saya tahu, di dalam daftar obrolan beliau, pasti ada banyak daftar obrolan penting dari orang besar lagi penting untuk lebih didahulukan ditanggapi ketimbang Cuma sapaan iseng dari penggemar biasa seperti saya. Tapi lagi-lagi. Tak butuh hitungan menit pesan saya mendapatkan balasan. “Hehehe. Iya ema.” Tak lama dari itu, ada PM Kak is yang baru di pembaharuan, “Get up.” Dugaan saya,mungkin kak Is hanya lupa. Ia ingin mnuliskan get up tapi yag tertulis adalah give up. Kenapa? Mulai merasa tidak penting dengan tulisan saya? Benar, percakapan itu memang biasa saja. Sangat biasa. Tak ada yang istimewa mungkin. Nama kak Is bisa saja saya ganti dengan Sugino, Parijem, Sarkem, Susah, Bungah, Gampang, Gasar, atau siapalah itu. Dan apa bedanya dari nama nama itu? Tapi buat saya, percakapan itu cukup menjadi pemantik saya untuk sampai pada malam ini. Yang sebenarnya sama saja dengan malam-malam sebelumnya. Sama pentingnya dan sama indahnya. Hanya saja diskusi malam ini membuat hati saya tergugah untuk membagikan apa yang Tuhan peristiwakan kepada saya. Dari percakapan kecil itulah awal mula tercipta pertemuan saya dengan kawan-kawan teater satu sampai hari ini. masih belum ngeh di mana titik pentingnya? aedah, ya berdoa sajalah ya semoga diberi petunjuk suatu hari kelak. :). Tapi sepertinya pertemuan awal itu tidak akan saya ceritakan sekarang. Semoga saya diberi kesempatan untuk menuliskannya di catatan selanjutnya. Ya, bukan tidak ada hambatan saya akhirnya berada di antara kawan-kawan teater. Tak kurang dari prasangka buruk dari sahabat. Dicurigai, didiamkan, diceramahi (mungkin wajah saya nampak seperti kehilangan orientasi dan diduga telah kecewa dengan jalan kebenaran, jalan mencari Tuhan, sehingga butuh diingatkan supaya bertaubat dan selamat dari siksa akhirat), dan masih banyak lagi. Mulanya saya pikir biar lah. Biarlah apa pun yang mereka sangkakan terhadap saya. Ini pilihan saya. Cukup hanya saya dan Tuhan yang tahu. Tapi mari berpikir kembali. Bahkan Tuhan yang Maha Tahu pun menciptakan apa yang disebut doa bagi hamba-Nya. Apakah jika kita tidak berdoa artinya Tuhan tidak tahu apa yang sedang kita butuhkan dan inginkan? Ya sudah pasti kita semua sepakat tak ada yang luput dari-Nya. Tapi barangkali bukan informasi yang terkandung dalam doa yang Tuhan inginkan dari kita. Tuhan hanya ingin menguji seberapa mesranya kita saat kita berbincang berdua saja dengan-Nya. Seberapa intim kita merayu, mengadu, dan memanja mengharap tangan-Nya membelai pundak yang mudah layu ini. Nah, apa tah lagi manusia yang memang sudah tabiatnya selalu berprasangka. Siapa tahu, dengan saya menulis begini, sahabat- sahabat saya bisa sedikit lega bahwa saya akan baik-baik saja. :) Tema diskusi malam ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sudah sangat sering kak is mengingatkan terkait proses yang harus dilalui oleh seorang pembelajar seni. Yang pertama adalah intens. Karya seni yang intens selalu berkaitan dengan hidup yang intens. Bagaimanakah hidup yang intens? Adalah jika mampu mendistribusikan waktu dengan maksimal. Melakukan dengan penuh cinta, Memperhitungkan prioritas, terrencana, fokus, dan total dalam melakukan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk mengerjakan hal-hal yang “tidak perlu” intens. Sekarang coba sebutkan siapakah orang-orang besar yang jika kita korek biografinya ternyata tak memiliki hidup yang intens? pola hidupnya, lika likunya, merekajatuh dan bagaimana mereka bangkit dari jatuhnya, dikhianati, difitnah, dan bagaiamana mereka bisa tetap berdiri tegak dengan segala gelombang yang mereka hadapi. Itulah mengapa kak is sering mengutip dalil:”Jika kamu telah menyelesaikan suatu pekerjaan, maka kerjakanlah pekerjaan yang lain dengan sungguh-sungguh”. Hidup yang intens inilah yang menyebabkan seseorang bisa “berbagi makna”. Apakah yang hendak dibagi oleh pecinta seni selain “makna” meskipun hanya sekedar? pErtanyaan selanjutnya, lalu mengapa kita harus berbagi makna? Wahai sahabatku, kalau saya tidak salah paham, manusia diciptakan sebagai khalifah katanya. Maka berbagi makna adalah cara kita melaksanakan salah satu fitrah sebagai khalifah. Nah... Yang kedua adalah memiliki kemurnian. Menurutmu mengapa seekor kucing atau seorang anak kecil terlihat begitu lucu, menyenangkan, menggemaskan atau yang sejenisnya? Betul! Karena mereka memiliki kemurnian. Mereka tidak punya pretensi dibuat-buat, ingin terlihat lucu, atau ingin dipuji lucu. Kalau kata kak is,”mana ada kucing yang jalannya melenggak-lenggok karena mereka sedang akting?” mereka melakukan apa adanya. Dengan naluri mereka. Bukan dengan seluruh keinginan yang berisik di pikiran. Maka “indah”, akan tampak jika kita melucuti semua armor dalam diri kita. Menjadi “murni”. Begitu yang dikatakan kak Is. Kalau kata ust. Salim, “Bermurni di jalan sunyi, ikhlas.” Ketiga adalah ketekunan dan kesabaran. Sudah jelas. Seseorang belum bisa dikatakan istiqomah jika belum melalui ujian. Bukankah kebaikan tidak hanya datang karena bersyukur atas pemberian? Tapi juga bersabar dalam ujian. Kalau kata sahabat Umar, “ Jika Sabar dan syukur adalah sebuah tunggangan, maka aku tak peduli mana yang harus aku tunggangi.” tapi yag pasti Jalan kita adalah jalan setapak. Jalan sunyi dan sendiri. Tak lempang dan penuh duri. Jangan pernah memberikan pertanyaan untuk berakhir. Begitulah. Bagi pecinta keindahan, tak penting bagaimana ia menuju keindahan itu. Tak ada yang lebih penting dari keindahan itu sendiri. Kalau ungkapan kak is, “Surga itu tidak penting.” Lo ya bener. Pemilik surganya lah yang lebih penting. Mustinya kita lebih gelisah apakah kita kebagian jatah untuk dapat menyaksikan wajah-Nya? Kalau sudah bisa ketemu dengan-Nya, bersalaman dengan-Nya, ya masak iya Beliau tidak ridho memberikan surganya? mempersilakan kita bertandang ke rumah-Nya. Hehehe. Jadi begitu teman-teman. Semoga cukup membingungkan. Pagi.

Jumat, 29 Mei 2015

SETEGUK MURNI DI JALAN INI

Mengapa kita kecewa? siapa sebenarnya yang merasa kecewa? apa kita semua sepakat bahwa pemilik rasa ini adalah hati? yah, bagaimana kalau kita anggap saja begitu tanpa mengahalangi pendapat lain untuk berkesempatan? Hati. Sepertinya bagian kecil inilah yang menentukan jasad yang lebih besar ini untuk tergerak melakukan hal-hal dalam kuantitas maupun kualitas apa pun. Maka tak habis lah alasan syaithan memilih bagian ini sebagai bagian yang ia minta untuk dibidiknya. Sebab rupanya hati lah yang menjamin seseorang selamat dunia dan akhirat. Jaminan itu sebentuk keikhlasan. Dan manusia mana yang berani menjamin bahwa ia mampu mengendalikan hati untuk selalu ikhlas kepada Allah? Alih-alih berniat untuk meninggikan diri di hadapan manusia atas segala perjuangan yang kita kerjakan. Syaithan yang tak pernah alpa berjaga di hati terus meniupkan hasrat ingin dilihat, didengar, dikisahkan, ditayangkan, dipuji, ditakjubi dan segala tempat yang tinggi. Lalu ketika di ujung perjuangan ternyata tak terraih hasrat yang kita inginkan, kita menyalahkan manusia bahwa di hasil yang sesempurna dan semenawan ini ada banyak darah, lelah, susah dan payah dalam menempuhnya. Tidakkah kalian berpikir? Betapa kerasnya hati kalian sehingga tak ada sedikitpun empati kemudian menghargai? Duh, begitu rapuh ternyata tabiat hati. Bukankah orang semulia sahabat Abu Bakar tergugu sebab menyadari bahwa usianya tak mencukupi untuk sekedar menyentuh kebenaran oleh Rabbnya? Baru kebenaran, belum kebaikan. Dan baru sekedar menyentuh. Bukan meraih. Betapa ia menganggap kecil atas seluruh amal yang jika dengan amal itu ia merasa tersiksa, asal kebenaran itu berasal dari-Mu, maka seumur hidup pun tak kan ditampiknya. Dan betapa rapat ia menutup kemesraannya dengan Allah dari penglihatan manusia. Ia juga tak berbangga meski kabar dijamin syurga oleh Allah terbocorkan kepadanya. Kemudian putri mana yang tak teriris ketika melihat ayahnya yang mulia dihinakan orang yang tidak lebih mulia darinya. Fatimah, putri Rosulullah, menangis tak sudah-sudah ketika mendapati ayahnya pulang dengan tubuh penuh kotoran karena dilempari orang-orang yang tidak beriman. Tapi apa sikap Rosulullah? “Tak apa. Mereka belum memahaminya.” Sepertinya tidak mungkin jika keanggunan semacam ini berasal dari hati yang tak mengharap yang lain selain Allah. Sementara kita? Siapa dan apa yang telah menjamin sesuatu untuk kita? tapi betapa kita telah merasa telah banyak berupaya. Betapa kita telah merasa paling terluka, dan sama sekali tak merasa malu kepada Rabb, kepada Rosul-Nya, dan para pendahulu yang rendah hatinya. Betapa kita telah merasa telah melahirkan kesempurnaan dan kebaikan tersebab jalan lurus yang kita rasa payah menempuhnya. Sedikitpun tak ada perasaan gelisah betapa kecil pengorbanan kita untuk mengganti karuniaNya yang begitu besar. Apakah terbayar dengan amalan yang sangat kecil itu? Dan kita terus berbangga, merasa telah rampung dan tinggal menerima syurga. Merasa segala perkataannya telah berat di hadapan manusia lain sebab tahajudnya. Kalau kata ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya yang berjudul Lapis-Lapis Keberkahan, “Memangnya sekhusyuk apa sholat kita? Bahkan solat subuh yang teramat fardhunya , kita tak terlalu perhatian padanya?” Rajin tahajud tapi subuh teralpa, “Sungguh seumpama pakai sabuk tapi tak pakai celana.” Begitu lanjutnya. Malu. Malu bahwa sesungguhnya kita lebih giat ketika terlihat, lebih berbinar ketika dipuji. Malu bahwa sungguh kita tak lebih bersegera ketika sendiri, dan tak lebih hikmad bahkan tak melakukan amal ketika sepi. Ah, ternyata hati kita memang sulit untuk merasa ringan dan tidak dirumitkan dengan perasaan-perasaan ingin diakui. Tapi tunggu dulu, sepertinya ikhlas bukan soal berat dan ringan. Jika berat dan ringan menjadi parameter, siapakah kita yang berani mengatakan bahwa Nabi Ibrahim tidak ikhlas menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putranya yang sudah sekian lama dinanti kehadirannya, yang ketika Ibrahim menggendongnya maka terlihat seperti kakek yang sedang menimang cucunya. Yang ketika ia telah lahir harus berpisah sebab perintah Allah untuk berjihad ke lain wilayah. Yang ketika telah rampung tugasnya dan kembali dengan sejumlah rindu yang meruah-ruah ingin segera menyaksikan remajanya lama-lama, Allah justru memerintahkan mereka berpisah selamanya. Bukankah tak ada harta yang harganya melebihi seorang anak bagi seorang ayah? tentu saja berat menjalaninya. Barangkali tak terbayangkan kerumpangan hati Ibrahim menerima itu semua. Tapi ternyata Ibrahim memahami bahwa keberatannya ini adalah bagian dari keridhoan-Nya. “Berangkatlah baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. At-Taubah:41) Nah, kalau boleh saya bahasakan ulang, Allah hanya ingin mengatakan, “tak perlu kau pikirkan berat atau ringan. Berbuatlah! buktikan cintamu”. Mungkin seperti itu. Ya, barangkali kita semua paham mengenai ikhlas, mungkin kita juga berani bersumpah bahwa kita berjuang dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Tapi sebentar, sampai di sini izinkan saya mengutip kembali tulisan ust. Salim A. Fillah. “Yang terberat dari ikhlas sesungguhnya adalah saat kita menyadari bahwa dia terletak sejak sebelum kita berbuat, ketika kita sedang berbuat, dan sesudah kita berbuat, seterusnya sampai maut menjemput. Maka menjadi ikhlas adalah runtun perjalanan yang tak kenal henti. Alangkah Maha Pemurah Dia. Alangkah bijaksana Sang Nabi yang diutus-Nya. Allah dan Rasul-Nya ternyata selalu membukakan pintu-pintu harapan agar runtunan menjadi ikhlas bisa terus berjalan. Tak peduli seperti apapun awalan, menjadi ikhlas adalah terus mengaca diri lalu berbenah. Sabda Nabi, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya. Dan sungguh tiap-tiap diri akan memeroleh apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya, dia akan mendapatkan Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka....” Maafkan, karena kita harus memotong sejenak sabda Nabi di jeda ini. Mari bersama bayangkan apa kelanjutannya. Jika Sang Nabi bersabda bahwa yang berhijrah menuju Allah dan rasul-Nya akan mendapatkan Allah dan rasul-Nya, seharusnya beliau katakan bahwa yang berhijrah karena dunia dan wanita, maka ia akan mendapatkan dunia yang ingin digapainya atau wanita yang ingin dipikatnya. ya, begitulah seharunya kalimat beliau sebakdanya. Namun, inilah Nabi pembawa rahmat, yang tak ingin sedikitpun memutus harapan orang-orang tersalah. Dia tidak memapas mereka yang hatinya dipenuhi hasrat akan dunia dan wanita dengan kata-kata hanya akan mendapatkan dunia dan wanita. Ia bentangkan kalimatnya meluas menjadi harapan yang memenuhi timur dan barat. Sabdanya, “Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia niatkan untuk berhijrah.” Alangkah indahnya kesempatan untuk memperbaiki diri, memperbarui niat, dan mengganti motivasi ketika awalan terlanjur tercemar. “Apa yang dia niatkan untuk berhijrah.” Betapa terbukanya kalimat ini. Betapa sejuknya, hingga diri-diri yang alpa ketika berangkat bisa memperbaiki niat dan menata kembali keikhlasan. Suatu ketika, seorang sahabat membukakan lagi untuk kita pintu harapan tentang keikhlasan itu dengan sebuah tanya kepada Sang Nabi. “Ya Rasulullah,” katanya, “ada tiga orang yang berperang bersama engkau. Yang pertama berperang karena penghidupannya yang sempit sehingga dia berharap mendapatkan rampasan perang untuk mengepulkan dapurnya. yang kedua berperang karena bela rasa. Hatinya tidak rela melihat kaumnya diperangi, atau ia merasa tak enak jika tidak membersamai kaumnya dalam perang. Dan yang ke tiga, berperang karena ingin diakui sebagai lelaki gagah berani. Manakah di antara ketiganya, ya Rosulullah, yang bisa disebut fi sabilillah?” Kalau saja kitalah yang bertanya kepada Sang Nabi, dan dalam hati ada maksud untuk menyindir beberapa teman sendiri, maka alangkah kecewa hati ini. Sang Nabi tak dengan jeri menghakimi: “Ketiga-tiganya tak mendapat pahala!” Sekali lagi beliau sabdakan kalimat terbuka yang begitu sejuk, begitu bermakna. “Siapa pun,” kata beliau, “yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dia fisabilillah.” *** Di hati yang ikhlas, ia akan merasa bahkan kelelahannya beramal di ujung sekarat pun tak akan cukup dijadikannya sebagai ungkapan terimakasih atas karunia-Nya yang meluas. Apa tah lagi sampai membeli syurga-Nya. Di hati yang ikhlas karena Allah, tak akan ada kecewa sebab tak ada fadhilah yang dirasa. Di hati yang ikhlas, tak membuat tergesa merasa bahwa diri paling gagal dan menderita. Sebab menyadari bahwa segala dari-Nya tak mungkin jika bukan kebaikan semata. Jikalau harus ditimpa kepayahan yang dianggap buruk pada umumnya, maka yang dianggap buruk itu pun tak lain juga untuk kebaikan baginya. Dan di kekhawatiran ini, Allah masih mengusap punggung kita dengan firman-Nya bahwa, “Segala perbuatan sekecil biji zarah pun akan mendapatkan balasannya.” Ah, tak kurang-kurang Pemurahnya Allah kepada hamba-Nya. Kita yang semestinya membayar hutang tapi seolah Allah lah yang terhutang. Nah, sahabatku, mari bertanya pada masing-masing, benarkah kita sudah ikhlas karena Allah? lalu mengapa masih kecewa ketika dihadang sepi dari pengakuan manusia? di jiwa yang rombeng ini, mari kita mencurigai diri, apakah kita hanya sekedar merasa telah ikhlas, atau memang benar telah ikhlas dalam runtun perjalanan tak kenal henti? Salam ***

Negeri “Apa Salahnya?”

Apakah Anda juga sama herannya dengan saya? Bahwa begitu banyak orang-orang yang sangat alergi dengan dalil-dalil. Dalil-dalil dari Tuhan dan Rosul tentang kebenaran yang mengelinding dengan sendirinya di hadapan mereka malah sengaja dihindari agar tidak tersentuh olehnya. Mereka justru bersusah payah mencari dan menyeleksi sendiri opini-opini yang “terdengar” filosofis. Masih untung jika filsafat itu tak sengaja sesuai dengan dalil yang mungkin sering dianggap menjijikkan. Persoalannya adalah, ternyata kita hidup di masa, di mana para filsuf ilegal melenakan manusia dengan pembenaran-pembenaran yang “terkesan” benar. Ah, semoga kita bukan salah satu korbannya. Ironisnya, saat artikel, essay, opini media atau apalah itu menganggap seorang penulis berdosa jika tidak menyertakan fakta-fakta, data-data, atau landasan yang kuat, justru interaksi langsung terhadap sesama manusia malah sama sekali tak membutuhkan itu. Mereka hanya butuh opini yang puitis, filosofis, terkesan berperikemanusiaan, dan selalu mengandalkan frase “Apa salahnya”. Luar biasa sekali! Saya juga tidak tahu, ketika saya menulis tulisan ini, apakah lebih baik saya memilih menampilkan dalil dan contoh-contoh nyata, ataukah opini-opini kosong saya. Saya tidak tahu yang mana yang bisa lebih meyakinkan pembaca. Jujur saya jadi jeri memberikan dalil dan contoh-contoh nyata. Dan lagi, kita hidup di zaman di mana yang seharusnya akan lebih menarik jika tidak seharusnya. Benar apa yang dikatakan salah satu seorang maestro kepada saya. Dunia makin boyak saja. Duh... Persoalan yang paling panas menurut saya saat ini adalah persoalan toleransi. Toleransi, menurut teori yang baru saja saya cari di google, berasal dari bahasa latin “tolerare” yang artinya sabar membiarkan sesuatu. Sebelumnya saya minta izin kepada para pembaca bahwa mungkin saya akan membahas bagian yang sensitif, agama. Rosulullah, adalah seseorang yang sangat bertoleransi kepada seluruh manusia. Tak peduli siapa, apa agamanya, berapa banyak kekayaannya, dan sebagainya. Pernah dikisahkan ada seorang tabiin bernama Abdullah bin Amru yang pembantunya sedang memotong kambing. Beliau berkata kepada pembantunya itu. ”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”. Lalu seseorang menyeletuk, “(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”. Dengan penuh simpul di bibirnya Abdullah berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” Bagaimana? apakah gambaran yang saudara bayangkan sama mengagumkannya dengan apa yang saya bayangkan? Seseorang sampai begitu khawatir tetangga non muslim Rosulullah juga mendapatkan hak waris sebab begitu baiknya Rosulullah memperlakukan non muslim sama seperti memperlakukan kerabatnya sendiri yang muslim. Betapa Rosulullah begitu serius memberikan tauladan tentang toleransi untuk umatnya. Bahkan Rosulullah sangat melarang keras membunuh seorang non muslim yang sama sekali tidak menganggu ketauhidan seorang muslim. “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ” Tak main-main. Surga yang jadi taruhannya untuk menghormati non muslim. Begitu pentingnya. Baiklah, satu contoh lagi. Ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Jadi siapa yang bilang kalau orang muslim gemar memaksakan orang non muslim untuk masuk islam? ah, masing-masing pasti sudah bisa menjawab bukan? Ternyata. Ya, ternyata memang toleransi betul-betul diberikan perhatian khusus oleh agama ini. Terutama toleransi antarberagama. Jadi kenapa kita harus skeptis, sinis, bermuka masam, dan sejenisnya kepada non muslim? Islam adalah agama yang damai dan mencintai kedamain. “Berarti kita juga boleh mengikuti ritual mereka donk?” Nah, yang ini. Sebagaimana kita dianjurkan bahwa memakan vitamin itu baik, pasti akan menjadi buruk jika vitamin yang kita makan itu berlebihan, kalau tidak salah, nama penyakitnya adalah avitaminosis. Silahkan dikoreksi. Sama halnya dengan toleransi. Segala sesuatu yang melebihi batasnya pasti akan berdampak buruk. betapapun baik khasiatnya. Toleransi pun juga memiliki batas. Batasnya adalah AQIDAH dan IBADAH. Terserah saudara, masa bodo seberapa jauh hubungan baik anda dengan non muslim, tapi maaf, beban moral bagi saya jika tidak mengingatkan ketika toleransi saudara sudah sampai pada aqidan dan ibadah. Kita ambil contoh saja yang sedang booming sekarang adalah Valentine’s Day. Ini bukan soal menetapkan hari untuk menjadikan sebagai hari kasih sayang yang kita dengan bangganya mengatakan kalimat pembelaan andalan “Semua hari adalah hari kasih sayang”. Bukan soal itu, juragan. Kalau soal menetapkan hari, umat muslim pun boleh-boleh saja ikut memperingati hari ibu, hari kemerdekaan, hari ayah, hari apa lagi? terlepas dari semua pro kontranya. Tapi tentang “siapa” yang memiliki urgensi hari valentine ini. Rakyat jelata? Oh, kalau begitu bisa untuk siapa saja. Atau para pekerja? Oh, semua orang pasti bekerja, jadi boleh untuk siapa saja. Untuk orang yang mengimani suatu agama? Nah, saya rasa yang ini sudah spesifik. Artinya hanya untuk konsumsi terbatas. Tidak diperbolehkan untuk sembarang orang. Begitu kan? “Memang ini ritual agama?” Lho iya. Saudara pasti lebih canggih dari saya untuk mendapatkan informasi dari mana, oleh siapa, dan untuk siapa hari valentine ini. “Lha tapi kan tidak ada dalil yang jelas mengatakan tidak boleh ikut merayakan valentine?” Tidak cukupkah dalil yang menyatakan “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” Logika saja, siapa yang rela diikutkan ke dalam golongan yang lain? Oke mudahnya begini, muslim mana yang rela dibilang non muslim? bahkan orang non muslim pun juga tak rela mereka dipaksa menjadi muslim. Kasarnya, “Mending gue sodorin leher gue kalau harus ninggalin agama gue. Potong-potong lah!” Begitu ya kalau tidak salah? Masih kurang plong? baiklah, saya kutipkan obrolan Rosulullah dengan tiga orang non muslim Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf. Salah satu dari mereka berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” Kemudian turunlah ayat yang menolak toleransi kebablasan semacam ini, “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (Q.S. Al-Kafirun: 1-6) “Bukan lho. Maksud saya dalil-dalil itu kan terlalu umum. Tidak ada yang menjelaskan secara jelas bahwa valentine itu tidak diperbolehkan untuk orang muslim.” Inilah, sekali lagi saya belajar banyak dari seorang maestro bernama Iswadi Pratama. Dalam salah satu tulisannya yang cukup menohok, kira-kira jika bisa saya simpulkan seperti ini kalimatnya, “Kita terlalu manja dengan pernyataan-pernyataan yang jelas. Malas berpikir untuk mengungkap banyak penjelasan-penjelasan yang tersembunyi.” Begitulah, faktanya memang kebanyakan kita hanya menelan informasi secara tekstual. Sangat jarang menelaah sesuatu yang kontekstual. Saya tegaskan “kita” karena saya sendiri pun juga mungkin demikian. Dari sini semoga kita bisa tersindir untuk belajar memahami segalanya sampai pada rabaan terakhir. Dalam bahasa arabnya, “syumul”, menyeluruh. Memahami segala sesuatunya secara menyeluruh. Sehingga terselamat dari sebuah taklid buta. Begini saja, kasus ini sama halnya dengan dalil tentang haramnya khamr. Khamr diartikan sebagai segala sesuatu yang memabukkan. Di sana yang tertulis hanya Khamr. Bukan wine, bir, asoka, lem, ganja, alkohol, beras kencur cap orang tua berjenggot mungkin. Tapi secara otomatis, orang-orang akan tahu bahwa ketika menemukan salah satu dari mereka maka bisa disebut khamr. Bukankah lucu jika ada dalil yang menyatakan, “Diharamkan bagi kamu anggur cap bulu hidung meski hanya sedikit.” Zaman selalu dibuntuti oleh teknologi. Kita tak tahu khamr jenis apa lagi yang diciptakan masa depan. Nah, jadi begitu. Maaf kalau pada akhirnya saya harus memilih untuk menampilkan dalil-dalil. Saya hanya menyadari bahwa ternyata saya tidak cukup mampu untuk menjadi seorang filsuf yang menyatu dengan kebenaran-kebenaran alam dan tidak berbakat untuk menjadi seorang pujangga yang bisa menghanyutkan perasaan dan keyakinan. Saya, Ema, yang lebih banyak bicara ketimbang mendengar, sehingga lebih banyak dosa sok taunya ketimbang fahamnya, merasa pantas untuk memelas agar dimaafkan. Salam

Soal Jilbab, Biasa

Jujur saja, kali ini saya ingin bicara soal hijab. Tapi jangan memutuskan berhenti membaca! Mungkin anda akan sinis. Tapi kali ini saya mohon jangan berhenti membaca. Izinkan saya untuk menyuguhkan, mungkin hanya omong kosong yang bermula dari kegelisahan saya menyita waktu Anda. Kali ini saja mohon kesediaanya untuk menyimak tulisan saya yang jauh dari baik dan menarik ini. kali ini saja. kali ini...saja. Tidak. Saya tidak memaksa untuk sepakat. Saya hanya ingin yang saya anggap tulisan ini dibaca. itu saja. Selanjutnya terserah Anda. Sungguh.Ya, berhijab, adalah kewajiban bagi wanita muslim. Wajib bagi yg sudah baligh. Bukan bagi yang sudah baik. Taraf wajibnya sama seperti sholat. Setiap muslim wajib sholat. bukan karna seseorang berperangai begitu bejad lantas menghilangkan kewajiban baginya untuk sholat. Seperti itulah hukum berhijab. Wajib, saya yakin kita semua sudah lulus memahami makna dari wajib. Wajib adalah sesuatu yang jika melaksanakannya mendapat pahala dan meninggalkannya mendapat dosa. Ah, semoga tidak salah. “Tapi sebagai muslim saya malu melihat muslimah yg berhijab tapi menggunjing lebih heboh dari yg tidak berhijab. Saya malu dengan yg beragama lain. Saya tidak mau menjadi salah satu pelaku yg ikut merusak citra islam.” Ya Robb, selama kita ini masih disangka sebagai manusia, kebaikan dan keburukan tak akan pernah alpa dari diri. tugas kita hanya melakukan yang terbaik. Sebaik apapun manusia, ia akan tetap mendapatkan cela. Bahkan manusia sesempurna Rosulullah pun tak hanya sedikit musuh. oke, izinkan saya bertanaya. Apakah Allah pernah menjamin seseorang yang berhijab akan berubah menjadi malaikat? ataukah Allah pernha menjamin seseorang yang meninggalkan hijab tapi perilakunya lebih baik dari yang berhijab itu akan lebih mulia? Allah hanya mewajibkan untuk berhijab. titik. Tidak ada perintah selanjutnya setelah mewajibkan hijab. Mulia atau tidak bukan di mata manusia, saudaraku. Ketika kita masih mengkhawatirkan segala sesuatunya karena anggapan-anggapan manusia, yakinlah itu hanyalah perasaan takut kepada selain Allah. Ketika manusia takut kepada selain Allah, ia akan cenderung meninggalkannya. Sedangkan ketika takut kepada Allah, kita akan cenderung mendekatiNya. Nah, jangan sampai ketakutan kita kepada selain Allah menghalangi ketakutan kita kepada Allah. “Ah, saya tidak mau beramal hanya karna takut. Jadinya kita hanya menghitung2 amal, sekedar menggugurkan kewajiban, dan terkesan tidak ikhlas.“. Benar! sangat sangat sepakat dengan pernyataan itu. 100% murni sangat sepakat. itulah sebabnya Rosulullah mengatakan bahwa iman terdiri dari cinta,harap dan takut. Sudah jelas, di sana ada tiga komponen. Iman, harap, dan takut. Bukan hanya takut, tapi ada cinta dan harap. Jangan pernah memisahkan ketiganya. Cinta, jika seseorang merasa cinta kepada Allah, maka ia akan melakukan ibadah yang terbaik. Hakikatnya cinta, kita tidak akan menampakkan keburukan di hadapan cinta. Kita akan selalu ingin tampil menarik di hadapan cinta.Cinta yang membuat yang berat jadi begitu ringan, yang sakit tak lagi di rasakan. Yang lemah jadi ingin terlihat kuat, yang cemen jadi ingin terlihat hebat. Jangankan permen, tai ayam saja disangka coklat. Sebab di hadapan cinta, semuanya hanya indah belaka. Dengan begitu cinta inilah yang membuat segalanya jadi ikhlas. “Bagaimana kita bisa menemukan cinta?” Pahami! pahami maksud Allah mewajibkan kita beribadah. Allah tidak mungkin menganjurkan hambaNya untuk suatu keburukan. Pasti ada manfaat yang begitu besar di balik segala perintahnya. ini klise bukan? Itu cara Allah mencintai hamba-Nya. Siapakah kita yang berani mengabaikan cinta Allah? siapakah kita yang membuat cinta Allah bertepuk sebelah tangan? Cinta Allah, kasih sayang Allah, terlalu sucikah hati kita untuk menadahiNya?. jika kasih sayangNya saja kita tolak, lalu adakah yang lebih tinggi selain kasih sayangNya? Nah, seseorang yang mencintai tentu saja menyimpan harapan terhadap yang ia cintai. Jika seseorang merasa harap kepada Allah dan balasan-Nya, mungkin itu berupa kemudahan dunia maupun akhirat, maka ia akan meningkatkan ibadah. Tanpa harap, ia tidak akan meningkatkan ibadah.Kemudian merasa takut kepada Allah dan balasanNya. Mungkin itu berupa kesulitan di dunia maupun akhirat. Maka ia akan beribadah. Tanpa takut seseorang tidak akan beribadah. Bukan sekedar takut dengan neraka, tapi lebih dalam dari itu. Takut tak mendapatkan ridhoNya. “Hallah, itu soal tahapan saja. Kalau pemula, memang mainnya di tahapan saja. Kalau pemula, memang mainnya di tahapan takut dan harap.” maaf, saya terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Karena Nabi pun memiliki harap dan takut kepada Allah. Lha mana mungkin Nabi itu pemula?!orang-orang yang kurang menaruh harap kepada Allah, akhirnya cenderung menaruh harap berlebihan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Jadilah manusia yang menuhankan manusia. Hati-hati. “Aih, tapi saya tetap tidak rela kalau islam jadi jelek karena hijaber yang buruk perangainya.” Baiklah, saya ingin bertanya juga. Bagaimana dengan perangai kita yang belum berhijab? sama? atau merasa lebih baik jika tidak berhijab? atau karena ingin bebas berbuat dzalim jika tanpa hijab? Bagi yang sama, percayalah orang yang sama-sama buruk mungkin setidaknya hijab bisa menjadi nilai plus baginya di mata Allah. “Ya kitanya plus. Tapi agama kita yg jadi taruhan. Saya tidak rela.” Jangan menjadi lilin. Yang melindungi ruangan dari kegelapan dengan menghabiskan dirinya sendiri. Mungkin kita telah merasa hebat melindungi Agama ini dari makian manusia. Tapi alangkah sedihnya agama ini jika aturannya diabaikan. kita rela tak mendapat satu keutamaan dari berhijab karena ingin terlihat melindungi agama ini. “Ya tapi kan kita hidup bukan sekedar berhubungan kepada Tuhan. Kita juga berhubungan kepada manusia. Tuhan tidak akan memaafkan kita kalau manusia yang kita dzolimi belum memaafkan.” Benar! lagi-lagi saya sangat sepakat. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan kita berhijab kita menjadi salah kepada manusia? sekali lagi. Yang salah bukan berhijabnya. Tapi tingkah lakunya. Menggunjingnya. Berhijab tidak lantas menjadikan kadar dosa menggunjing lebih tinggi dari pada yang tidak berhijab. Keduanya sama-sama berdosa. Bukan dengan melepas hijabnya dosa menggunjingnya “mendingan” dari yang berhijab. Hijab dan perilaku, bukan satu kesatuan. Mereka jelas berbeda. Banyak orang non muslim pun berperilaku baik. mereka tidak diwajibkan berhijab. Kita?baik atau tidak, sayangnya tidak menghilangkan kewajiban kita untuk berhijab. Nah, bisa jadi, setelah kita berhijab justru kita akan malu dengan hijab yang kita kenakan dan berhati2 dalam berbuat. Banyak lo yang seperti itu. Tidak kalah banyaknya dengan yang berhijab tapi perilaku tetap buruk itu tadi. Tapi begitulah. Gajah di pelupuk mata tidak tampak. Semut di sebrang lautan tampat. bau busuk itu memang lebih menghebohkan ketimbang bau wangi yang menenangkan. Dan kenapa kita tidak menjadi hijaber yang berperilaku baik? itu hanya soal pilihan bukan? meninggalkan perkara yang berkaitan dengan Tuhan dengan alasan kemanusiaan hanyalah pembenaran yang sengaja dicari-cari. Nah, bagi yang merasa lebih baik jika tidak berhijab, apakah anda khawatir anda akan menjadi lebih buruk jika berhijab? logika apa yang kita gunakan untuk hal ini? Apakah kita meragukan perintah yang Allah buat? bahwa perintahNya hanya akan menjadikan keburukan? Begitu? sehebat apa kita ini untuk bersu’udzon kepada Allah? jadi, saya sarankan untuk tetap berhijab. Sudah perilakunya baik, berhijab pula. Siapa yang tidak akan jatuh cinta? dan siapa yang tidak ingin mendapatkan cintanya Allah?Bagi yang tidak berhijab karena ingin bebas berbuat dzolim, mari, kita cari bersama apa kiranya manfaat yang akan kita peroleh dari kedzoliman itu? saya yakin kita semua pandai untuk berpikir. Baiklah, saya pun tidak ingin tulisan ini menjadikan saya menjadi begitu paling benar. Perilaku saya yang masih begitu blepotan mungkin hanya membuat anda menarik sudut bibir sebelah Anda. yakinlah bahwa saya sebagai manusia yang lebih banyak dzolim ketimbang manfaatnya, lebih banyak tertawan dosanya ketimbang berlimpah pahalanya, merasa pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Semoga kicauan yang terkesan sok tau ini tak menghalangi kelegawaan Anda untuk tetap menerima saya sebagai teman. Sebagai manusia yang jauh dari faham dan fakir dari ilmu, izinkan saya untuk tetap berdo’a agar Allah mengikat hati kita. Bagi pembaca yang begitu maestro tentang kepenulisan, mungkin tulisan ini tak lebih dari sekedar sampah yang sangat mengganggu sebab saya membuangnya sembarangan. Dengan segala ketidakpunyaan saya terhadap kehebatan, saya mohon maaf. Izinkan saya undur diri untuk merenungi juga kesoktauan saya sejenak. Salam.