Senin, 09 November 2015

Menyusun Bata

Benar yang dikatakan kak is. Kita memang perlu menuliskan apa yang sudah kita alami. Bukan karena ingin dikenang orang lain atau sekedar dokumentasi pribadi. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua: semoga ada yang orang lain pelajari dari kisah kita yang barangkali tak seberapa ini. *** Satu tahun yang lalu. Tak sengaja saya membuka facebook. Yang pertama kali muncul di beranda saya adalah gambar barcode pin BBM kak Is. Iseng saja saya invite. Tak perlu menunggu lama, saya agak kaget pertemanan saya diterima. Tak ada reaksi lain hari itu. Tak ada salam perkenalan atau apa pun. Dua hari berikutnya saya membaca pm kak Is, “Give up.” Lagi-lagi saya hanya iseng mengomentari status BBM nya itu. “Never give up, om.” Tak ada harapan saya untuk ditanggapi atau apa pun. Sebab saya tahu, di dalam daftar obrolan beliau, pasti ada banyak daftar obrolan penting dari orang besar lagi penting untuk lebih didahulukan ditanggapi ketimbang Cuma sapaan iseng dari penggemar biasa seperti saya. Tapi lagi-lagi. Tak butuh hitungan menit pesan saya mendapatkan balasan. “Hehehe. Iya ema.” Tak lama dari itu, ada PM Kak is yang baru di pembaharuan, “Get up.” Dugaan saya,mungkin kak Is hanya lupa. Ia ingin mnuliskan get up tapi yag tertulis adalah give up. Kenapa? Mulai merasa tidak penting dengan tulisan saya? Benar, percakapan itu memang biasa saja. Sangat biasa. Tak ada yang istimewa mungkin. Nama kak Is bisa saja saya ganti dengan Sugino, Parijem, Sarkem, Susah, Bungah, Gampang, Gasar, atau siapalah itu. Dan apa bedanya dari nama nama itu? Tapi buat saya, percakapan itu cukup menjadi pemantik saya untuk sampai pada malam ini. Yang sebenarnya sama saja dengan malam-malam sebelumnya. Sama pentingnya dan sama indahnya. Hanya saja diskusi malam ini membuat hati saya tergugah untuk membagikan apa yang Tuhan peristiwakan kepada saya. Dari percakapan kecil itulah awal mula tercipta pertemuan saya dengan kawan-kawan teater satu sampai hari ini. masih belum ngeh di mana titik pentingnya? aedah, ya berdoa sajalah ya semoga diberi petunjuk suatu hari kelak. :). Tapi sepertinya pertemuan awal itu tidak akan saya ceritakan sekarang. Semoga saya diberi kesempatan untuk menuliskannya di catatan selanjutnya. Ya, bukan tidak ada hambatan saya akhirnya berada di antara kawan-kawan teater. Tak kurang dari prasangka buruk dari sahabat. Dicurigai, didiamkan, diceramahi (mungkin wajah saya nampak seperti kehilangan orientasi dan diduga telah kecewa dengan jalan kebenaran, jalan mencari Tuhan, sehingga butuh diingatkan supaya bertaubat dan selamat dari siksa akhirat), dan masih banyak lagi. Mulanya saya pikir biar lah. Biarlah apa pun yang mereka sangkakan terhadap saya. Ini pilihan saya. Cukup hanya saya dan Tuhan yang tahu. Tapi mari berpikir kembali. Bahkan Tuhan yang Maha Tahu pun menciptakan apa yang disebut doa bagi hamba-Nya. Apakah jika kita tidak berdoa artinya Tuhan tidak tahu apa yang sedang kita butuhkan dan inginkan? Ya sudah pasti kita semua sepakat tak ada yang luput dari-Nya. Tapi barangkali bukan informasi yang terkandung dalam doa yang Tuhan inginkan dari kita. Tuhan hanya ingin menguji seberapa mesranya kita saat kita berbincang berdua saja dengan-Nya. Seberapa intim kita merayu, mengadu, dan memanja mengharap tangan-Nya membelai pundak yang mudah layu ini. Nah, apa tah lagi manusia yang memang sudah tabiatnya selalu berprasangka. Siapa tahu, dengan saya menulis begini, sahabat- sahabat saya bisa sedikit lega bahwa saya akan baik-baik saja. :) Tema diskusi malam ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sudah sangat sering kak is mengingatkan terkait proses yang harus dilalui oleh seorang pembelajar seni. Yang pertama adalah intens. Karya seni yang intens selalu berkaitan dengan hidup yang intens. Bagaimanakah hidup yang intens? Adalah jika mampu mendistribusikan waktu dengan maksimal. Melakukan dengan penuh cinta, Memperhitungkan prioritas, terrencana, fokus, dan total dalam melakukan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk mengerjakan hal-hal yang “tidak perlu” intens. Sekarang coba sebutkan siapakah orang-orang besar yang jika kita korek biografinya ternyata tak memiliki hidup yang intens? pola hidupnya, lika likunya, merekajatuh dan bagaimana mereka bangkit dari jatuhnya, dikhianati, difitnah, dan bagaiamana mereka bisa tetap berdiri tegak dengan segala gelombang yang mereka hadapi. Itulah mengapa kak is sering mengutip dalil:”Jika kamu telah menyelesaikan suatu pekerjaan, maka kerjakanlah pekerjaan yang lain dengan sungguh-sungguh”. Hidup yang intens inilah yang menyebabkan seseorang bisa “berbagi makna”. Apakah yang hendak dibagi oleh pecinta seni selain “makna” meskipun hanya sekedar? pErtanyaan selanjutnya, lalu mengapa kita harus berbagi makna? Wahai sahabatku, kalau saya tidak salah paham, manusia diciptakan sebagai khalifah katanya. Maka berbagi makna adalah cara kita melaksanakan salah satu fitrah sebagai khalifah. Nah... Yang kedua adalah memiliki kemurnian. Menurutmu mengapa seekor kucing atau seorang anak kecil terlihat begitu lucu, menyenangkan, menggemaskan atau yang sejenisnya? Betul! Karena mereka memiliki kemurnian. Mereka tidak punya pretensi dibuat-buat, ingin terlihat lucu, atau ingin dipuji lucu. Kalau kata kak is,”mana ada kucing yang jalannya melenggak-lenggok karena mereka sedang akting?” mereka melakukan apa adanya. Dengan naluri mereka. Bukan dengan seluruh keinginan yang berisik di pikiran. Maka “indah”, akan tampak jika kita melucuti semua armor dalam diri kita. Menjadi “murni”. Begitu yang dikatakan kak Is. Kalau kata ust. Salim, “Bermurni di jalan sunyi, ikhlas.” Ketiga adalah ketekunan dan kesabaran. Sudah jelas. Seseorang belum bisa dikatakan istiqomah jika belum melalui ujian. Bukankah kebaikan tidak hanya datang karena bersyukur atas pemberian? Tapi juga bersabar dalam ujian. Kalau kata sahabat Umar, “ Jika Sabar dan syukur adalah sebuah tunggangan, maka aku tak peduli mana yang harus aku tunggangi.” tapi yag pasti Jalan kita adalah jalan setapak. Jalan sunyi dan sendiri. Tak lempang dan penuh duri. Jangan pernah memberikan pertanyaan untuk berakhir. Begitulah. Bagi pecinta keindahan, tak penting bagaimana ia menuju keindahan itu. Tak ada yang lebih penting dari keindahan itu sendiri. Kalau ungkapan kak is, “Surga itu tidak penting.” Lo ya bener. Pemilik surganya lah yang lebih penting. Mustinya kita lebih gelisah apakah kita kebagian jatah untuk dapat menyaksikan wajah-Nya? Kalau sudah bisa ketemu dengan-Nya, bersalaman dengan-Nya, ya masak iya Beliau tidak ridho memberikan surganya? mempersilakan kita bertandang ke rumah-Nya. Hehehe. Jadi begitu teman-teman. Semoga cukup membingungkan. Pagi.