Jumat, 29 Mei 2015

Negeri “Apa Salahnya?”

Apakah Anda juga sama herannya dengan saya? Bahwa begitu banyak orang-orang yang sangat alergi dengan dalil-dalil. Dalil-dalil dari Tuhan dan Rosul tentang kebenaran yang mengelinding dengan sendirinya di hadapan mereka malah sengaja dihindari agar tidak tersentuh olehnya. Mereka justru bersusah payah mencari dan menyeleksi sendiri opini-opini yang “terdengar” filosofis. Masih untung jika filsafat itu tak sengaja sesuai dengan dalil yang mungkin sering dianggap menjijikkan. Persoalannya adalah, ternyata kita hidup di masa, di mana para filsuf ilegal melenakan manusia dengan pembenaran-pembenaran yang “terkesan” benar. Ah, semoga kita bukan salah satu korbannya. Ironisnya, saat artikel, essay, opini media atau apalah itu menganggap seorang penulis berdosa jika tidak menyertakan fakta-fakta, data-data, atau landasan yang kuat, justru interaksi langsung terhadap sesama manusia malah sama sekali tak membutuhkan itu. Mereka hanya butuh opini yang puitis, filosofis, terkesan berperikemanusiaan, dan selalu mengandalkan frase “Apa salahnya”. Luar biasa sekali! Saya juga tidak tahu, ketika saya menulis tulisan ini, apakah lebih baik saya memilih menampilkan dalil dan contoh-contoh nyata, ataukah opini-opini kosong saya. Saya tidak tahu yang mana yang bisa lebih meyakinkan pembaca. Jujur saya jadi jeri memberikan dalil dan contoh-contoh nyata. Dan lagi, kita hidup di zaman di mana yang seharusnya akan lebih menarik jika tidak seharusnya. Benar apa yang dikatakan salah satu seorang maestro kepada saya. Dunia makin boyak saja. Duh... Persoalan yang paling panas menurut saya saat ini adalah persoalan toleransi. Toleransi, menurut teori yang baru saja saya cari di google, berasal dari bahasa latin “tolerare” yang artinya sabar membiarkan sesuatu. Sebelumnya saya minta izin kepada para pembaca bahwa mungkin saya akan membahas bagian yang sensitif, agama. Rosulullah, adalah seseorang yang sangat bertoleransi kepada seluruh manusia. Tak peduli siapa, apa agamanya, berapa banyak kekayaannya, dan sebagainya. Pernah dikisahkan ada seorang tabiin bernama Abdullah bin Amru yang pembantunya sedang memotong kambing. Beliau berkata kepada pembantunya itu. ”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”. Lalu seseorang menyeletuk, “(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”. Dengan penuh simpul di bibirnya Abdullah berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” Bagaimana? apakah gambaran yang saudara bayangkan sama mengagumkannya dengan apa yang saya bayangkan? Seseorang sampai begitu khawatir tetangga non muslim Rosulullah juga mendapatkan hak waris sebab begitu baiknya Rosulullah memperlakukan non muslim sama seperti memperlakukan kerabatnya sendiri yang muslim. Betapa Rosulullah begitu serius memberikan tauladan tentang toleransi untuk umatnya. Bahkan Rosulullah sangat melarang keras membunuh seorang non muslim yang sama sekali tidak menganggu ketauhidan seorang muslim. “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ” Tak main-main. Surga yang jadi taruhannya untuk menghormati non muslim. Begitu pentingnya. Baiklah, satu contoh lagi. Ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Jadi siapa yang bilang kalau orang muslim gemar memaksakan orang non muslim untuk masuk islam? ah, masing-masing pasti sudah bisa menjawab bukan? Ternyata. Ya, ternyata memang toleransi betul-betul diberikan perhatian khusus oleh agama ini. Terutama toleransi antarberagama. Jadi kenapa kita harus skeptis, sinis, bermuka masam, dan sejenisnya kepada non muslim? Islam adalah agama yang damai dan mencintai kedamain. “Berarti kita juga boleh mengikuti ritual mereka donk?” Nah, yang ini. Sebagaimana kita dianjurkan bahwa memakan vitamin itu baik, pasti akan menjadi buruk jika vitamin yang kita makan itu berlebihan, kalau tidak salah, nama penyakitnya adalah avitaminosis. Silahkan dikoreksi. Sama halnya dengan toleransi. Segala sesuatu yang melebihi batasnya pasti akan berdampak buruk. betapapun baik khasiatnya. Toleransi pun juga memiliki batas. Batasnya adalah AQIDAH dan IBADAH. Terserah saudara, masa bodo seberapa jauh hubungan baik anda dengan non muslim, tapi maaf, beban moral bagi saya jika tidak mengingatkan ketika toleransi saudara sudah sampai pada aqidan dan ibadah. Kita ambil contoh saja yang sedang booming sekarang adalah Valentine’s Day. Ini bukan soal menetapkan hari untuk menjadikan sebagai hari kasih sayang yang kita dengan bangganya mengatakan kalimat pembelaan andalan “Semua hari adalah hari kasih sayang”. Bukan soal itu, juragan. Kalau soal menetapkan hari, umat muslim pun boleh-boleh saja ikut memperingati hari ibu, hari kemerdekaan, hari ayah, hari apa lagi? terlepas dari semua pro kontranya. Tapi tentang “siapa” yang memiliki urgensi hari valentine ini. Rakyat jelata? Oh, kalau begitu bisa untuk siapa saja. Atau para pekerja? Oh, semua orang pasti bekerja, jadi boleh untuk siapa saja. Untuk orang yang mengimani suatu agama? Nah, saya rasa yang ini sudah spesifik. Artinya hanya untuk konsumsi terbatas. Tidak diperbolehkan untuk sembarang orang. Begitu kan? “Memang ini ritual agama?” Lho iya. Saudara pasti lebih canggih dari saya untuk mendapatkan informasi dari mana, oleh siapa, dan untuk siapa hari valentine ini. “Lha tapi kan tidak ada dalil yang jelas mengatakan tidak boleh ikut merayakan valentine?” Tidak cukupkah dalil yang menyatakan “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” Logika saja, siapa yang rela diikutkan ke dalam golongan yang lain? Oke mudahnya begini, muslim mana yang rela dibilang non muslim? bahkan orang non muslim pun juga tak rela mereka dipaksa menjadi muslim. Kasarnya, “Mending gue sodorin leher gue kalau harus ninggalin agama gue. Potong-potong lah!” Begitu ya kalau tidak salah? Masih kurang plong? baiklah, saya kutipkan obrolan Rosulullah dengan tiga orang non muslim Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf. Salah satu dari mereka berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” Kemudian turunlah ayat yang menolak toleransi kebablasan semacam ini, “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (Q.S. Al-Kafirun: 1-6) “Bukan lho. Maksud saya dalil-dalil itu kan terlalu umum. Tidak ada yang menjelaskan secara jelas bahwa valentine itu tidak diperbolehkan untuk orang muslim.” Inilah, sekali lagi saya belajar banyak dari seorang maestro bernama Iswadi Pratama. Dalam salah satu tulisannya yang cukup menohok, kira-kira jika bisa saya simpulkan seperti ini kalimatnya, “Kita terlalu manja dengan pernyataan-pernyataan yang jelas. Malas berpikir untuk mengungkap banyak penjelasan-penjelasan yang tersembunyi.” Begitulah, faktanya memang kebanyakan kita hanya menelan informasi secara tekstual. Sangat jarang menelaah sesuatu yang kontekstual. Saya tegaskan “kita” karena saya sendiri pun juga mungkin demikian. Dari sini semoga kita bisa tersindir untuk belajar memahami segalanya sampai pada rabaan terakhir. Dalam bahasa arabnya, “syumul”, menyeluruh. Memahami segala sesuatunya secara menyeluruh. Sehingga terselamat dari sebuah taklid buta. Begini saja, kasus ini sama halnya dengan dalil tentang haramnya khamr. Khamr diartikan sebagai segala sesuatu yang memabukkan. Di sana yang tertulis hanya Khamr. Bukan wine, bir, asoka, lem, ganja, alkohol, beras kencur cap orang tua berjenggot mungkin. Tapi secara otomatis, orang-orang akan tahu bahwa ketika menemukan salah satu dari mereka maka bisa disebut khamr. Bukankah lucu jika ada dalil yang menyatakan, “Diharamkan bagi kamu anggur cap bulu hidung meski hanya sedikit.” Zaman selalu dibuntuti oleh teknologi. Kita tak tahu khamr jenis apa lagi yang diciptakan masa depan. Nah, jadi begitu. Maaf kalau pada akhirnya saya harus memilih untuk menampilkan dalil-dalil. Saya hanya menyadari bahwa ternyata saya tidak cukup mampu untuk menjadi seorang filsuf yang menyatu dengan kebenaran-kebenaran alam dan tidak berbakat untuk menjadi seorang pujangga yang bisa menghanyutkan perasaan dan keyakinan. Saya, Ema, yang lebih banyak bicara ketimbang mendengar, sehingga lebih banyak dosa sok taunya ketimbang fahamnya, merasa pantas untuk memelas agar dimaafkan. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar