Jumat, 29 Mei 2015

Soal Jilbab, Biasa

Jujur saja, kali ini saya ingin bicara soal hijab. Tapi jangan memutuskan berhenti membaca! Mungkin anda akan sinis. Tapi kali ini saya mohon jangan berhenti membaca. Izinkan saya untuk menyuguhkan, mungkin hanya omong kosong yang bermula dari kegelisahan saya menyita waktu Anda. Kali ini saja mohon kesediaanya untuk menyimak tulisan saya yang jauh dari baik dan menarik ini. kali ini saja. kali ini...saja. Tidak. Saya tidak memaksa untuk sepakat. Saya hanya ingin yang saya anggap tulisan ini dibaca. itu saja. Selanjutnya terserah Anda. Sungguh.Ya, berhijab, adalah kewajiban bagi wanita muslim. Wajib bagi yg sudah baligh. Bukan bagi yang sudah baik. Taraf wajibnya sama seperti sholat. Setiap muslim wajib sholat. bukan karna seseorang berperangai begitu bejad lantas menghilangkan kewajiban baginya untuk sholat. Seperti itulah hukum berhijab. Wajib, saya yakin kita semua sudah lulus memahami makna dari wajib. Wajib adalah sesuatu yang jika melaksanakannya mendapat pahala dan meninggalkannya mendapat dosa. Ah, semoga tidak salah. “Tapi sebagai muslim saya malu melihat muslimah yg berhijab tapi menggunjing lebih heboh dari yg tidak berhijab. Saya malu dengan yg beragama lain. Saya tidak mau menjadi salah satu pelaku yg ikut merusak citra islam.” Ya Robb, selama kita ini masih disangka sebagai manusia, kebaikan dan keburukan tak akan pernah alpa dari diri. tugas kita hanya melakukan yang terbaik. Sebaik apapun manusia, ia akan tetap mendapatkan cela. Bahkan manusia sesempurna Rosulullah pun tak hanya sedikit musuh. oke, izinkan saya bertanaya. Apakah Allah pernah menjamin seseorang yang berhijab akan berubah menjadi malaikat? ataukah Allah pernha menjamin seseorang yang meninggalkan hijab tapi perilakunya lebih baik dari yang berhijab itu akan lebih mulia? Allah hanya mewajibkan untuk berhijab. titik. Tidak ada perintah selanjutnya setelah mewajibkan hijab. Mulia atau tidak bukan di mata manusia, saudaraku. Ketika kita masih mengkhawatirkan segala sesuatunya karena anggapan-anggapan manusia, yakinlah itu hanyalah perasaan takut kepada selain Allah. Ketika manusia takut kepada selain Allah, ia akan cenderung meninggalkannya. Sedangkan ketika takut kepada Allah, kita akan cenderung mendekatiNya. Nah, jangan sampai ketakutan kita kepada selain Allah menghalangi ketakutan kita kepada Allah. “Ah, saya tidak mau beramal hanya karna takut. Jadinya kita hanya menghitung2 amal, sekedar menggugurkan kewajiban, dan terkesan tidak ikhlas.“. Benar! sangat sangat sepakat dengan pernyataan itu. 100% murni sangat sepakat. itulah sebabnya Rosulullah mengatakan bahwa iman terdiri dari cinta,harap dan takut. Sudah jelas, di sana ada tiga komponen. Iman, harap, dan takut. Bukan hanya takut, tapi ada cinta dan harap. Jangan pernah memisahkan ketiganya. Cinta, jika seseorang merasa cinta kepada Allah, maka ia akan melakukan ibadah yang terbaik. Hakikatnya cinta, kita tidak akan menampakkan keburukan di hadapan cinta. Kita akan selalu ingin tampil menarik di hadapan cinta.Cinta yang membuat yang berat jadi begitu ringan, yang sakit tak lagi di rasakan. Yang lemah jadi ingin terlihat kuat, yang cemen jadi ingin terlihat hebat. Jangankan permen, tai ayam saja disangka coklat. Sebab di hadapan cinta, semuanya hanya indah belaka. Dengan begitu cinta inilah yang membuat segalanya jadi ikhlas. “Bagaimana kita bisa menemukan cinta?” Pahami! pahami maksud Allah mewajibkan kita beribadah. Allah tidak mungkin menganjurkan hambaNya untuk suatu keburukan. Pasti ada manfaat yang begitu besar di balik segala perintahnya. ini klise bukan? Itu cara Allah mencintai hamba-Nya. Siapakah kita yang berani mengabaikan cinta Allah? siapakah kita yang membuat cinta Allah bertepuk sebelah tangan? Cinta Allah, kasih sayang Allah, terlalu sucikah hati kita untuk menadahiNya?. jika kasih sayangNya saja kita tolak, lalu adakah yang lebih tinggi selain kasih sayangNya? Nah, seseorang yang mencintai tentu saja menyimpan harapan terhadap yang ia cintai. Jika seseorang merasa harap kepada Allah dan balasan-Nya, mungkin itu berupa kemudahan dunia maupun akhirat, maka ia akan meningkatkan ibadah. Tanpa harap, ia tidak akan meningkatkan ibadah.Kemudian merasa takut kepada Allah dan balasanNya. Mungkin itu berupa kesulitan di dunia maupun akhirat. Maka ia akan beribadah. Tanpa takut seseorang tidak akan beribadah. Bukan sekedar takut dengan neraka, tapi lebih dalam dari itu. Takut tak mendapatkan ridhoNya. “Hallah, itu soal tahapan saja. Kalau pemula, memang mainnya di tahapan saja. Kalau pemula, memang mainnya di tahapan takut dan harap.” maaf, saya terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Karena Nabi pun memiliki harap dan takut kepada Allah. Lha mana mungkin Nabi itu pemula?!orang-orang yang kurang menaruh harap kepada Allah, akhirnya cenderung menaruh harap berlebihan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Jadilah manusia yang menuhankan manusia. Hati-hati. “Aih, tapi saya tetap tidak rela kalau islam jadi jelek karena hijaber yang buruk perangainya.” Baiklah, saya ingin bertanya juga. Bagaimana dengan perangai kita yang belum berhijab? sama? atau merasa lebih baik jika tidak berhijab? atau karena ingin bebas berbuat dzalim jika tanpa hijab? Bagi yang sama, percayalah orang yang sama-sama buruk mungkin setidaknya hijab bisa menjadi nilai plus baginya di mata Allah. “Ya kitanya plus. Tapi agama kita yg jadi taruhan. Saya tidak rela.” Jangan menjadi lilin. Yang melindungi ruangan dari kegelapan dengan menghabiskan dirinya sendiri. Mungkin kita telah merasa hebat melindungi Agama ini dari makian manusia. Tapi alangkah sedihnya agama ini jika aturannya diabaikan. kita rela tak mendapat satu keutamaan dari berhijab karena ingin terlihat melindungi agama ini. “Ya tapi kan kita hidup bukan sekedar berhubungan kepada Tuhan. Kita juga berhubungan kepada manusia. Tuhan tidak akan memaafkan kita kalau manusia yang kita dzolimi belum memaafkan.” Benar! lagi-lagi saya sangat sepakat. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan kita berhijab kita menjadi salah kepada manusia? sekali lagi. Yang salah bukan berhijabnya. Tapi tingkah lakunya. Menggunjingnya. Berhijab tidak lantas menjadikan kadar dosa menggunjing lebih tinggi dari pada yang tidak berhijab. Keduanya sama-sama berdosa. Bukan dengan melepas hijabnya dosa menggunjingnya “mendingan” dari yang berhijab. Hijab dan perilaku, bukan satu kesatuan. Mereka jelas berbeda. Banyak orang non muslim pun berperilaku baik. mereka tidak diwajibkan berhijab. Kita?baik atau tidak, sayangnya tidak menghilangkan kewajiban kita untuk berhijab. Nah, bisa jadi, setelah kita berhijab justru kita akan malu dengan hijab yang kita kenakan dan berhati2 dalam berbuat. Banyak lo yang seperti itu. Tidak kalah banyaknya dengan yang berhijab tapi perilaku tetap buruk itu tadi. Tapi begitulah. Gajah di pelupuk mata tidak tampak. Semut di sebrang lautan tampat. bau busuk itu memang lebih menghebohkan ketimbang bau wangi yang menenangkan. Dan kenapa kita tidak menjadi hijaber yang berperilaku baik? itu hanya soal pilihan bukan? meninggalkan perkara yang berkaitan dengan Tuhan dengan alasan kemanusiaan hanyalah pembenaran yang sengaja dicari-cari. Nah, bagi yang merasa lebih baik jika tidak berhijab, apakah anda khawatir anda akan menjadi lebih buruk jika berhijab? logika apa yang kita gunakan untuk hal ini? Apakah kita meragukan perintah yang Allah buat? bahwa perintahNya hanya akan menjadikan keburukan? Begitu? sehebat apa kita ini untuk bersu’udzon kepada Allah? jadi, saya sarankan untuk tetap berhijab. Sudah perilakunya baik, berhijab pula. Siapa yang tidak akan jatuh cinta? dan siapa yang tidak ingin mendapatkan cintanya Allah?Bagi yang tidak berhijab karena ingin bebas berbuat dzolim, mari, kita cari bersama apa kiranya manfaat yang akan kita peroleh dari kedzoliman itu? saya yakin kita semua pandai untuk berpikir. Baiklah, saya pun tidak ingin tulisan ini menjadikan saya menjadi begitu paling benar. Perilaku saya yang masih begitu blepotan mungkin hanya membuat anda menarik sudut bibir sebelah Anda. yakinlah bahwa saya sebagai manusia yang lebih banyak dzolim ketimbang manfaatnya, lebih banyak tertawan dosanya ketimbang berlimpah pahalanya, merasa pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Semoga kicauan yang terkesan sok tau ini tak menghalangi kelegawaan Anda untuk tetap menerima saya sebagai teman. Sebagai manusia yang jauh dari faham dan fakir dari ilmu, izinkan saya untuk tetap berdo’a agar Allah mengikat hati kita. Bagi pembaca yang begitu maestro tentang kepenulisan, mungkin tulisan ini tak lebih dari sekedar sampah yang sangat mengganggu sebab saya membuangnya sembarangan. Dengan segala ketidakpunyaan saya terhadap kehebatan, saya mohon maaf. Izinkan saya undur diri untuk merenungi juga kesoktauan saya sejenak. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar