Jumat, 29 Mei 2015

SETEGUK MURNI DI JALAN INI

Mengapa kita kecewa? siapa sebenarnya yang merasa kecewa? apa kita semua sepakat bahwa pemilik rasa ini adalah hati? yah, bagaimana kalau kita anggap saja begitu tanpa mengahalangi pendapat lain untuk berkesempatan? Hati. Sepertinya bagian kecil inilah yang menentukan jasad yang lebih besar ini untuk tergerak melakukan hal-hal dalam kuantitas maupun kualitas apa pun. Maka tak habis lah alasan syaithan memilih bagian ini sebagai bagian yang ia minta untuk dibidiknya. Sebab rupanya hati lah yang menjamin seseorang selamat dunia dan akhirat. Jaminan itu sebentuk keikhlasan. Dan manusia mana yang berani menjamin bahwa ia mampu mengendalikan hati untuk selalu ikhlas kepada Allah? Alih-alih berniat untuk meninggikan diri di hadapan manusia atas segala perjuangan yang kita kerjakan. Syaithan yang tak pernah alpa berjaga di hati terus meniupkan hasrat ingin dilihat, didengar, dikisahkan, ditayangkan, dipuji, ditakjubi dan segala tempat yang tinggi. Lalu ketika di ujung perjuangan ternyata tak terraih hasrat yang kita inginkan, kita menyalahkan manusia bahwa di hasil yang sesempurna dan semenawan ini ada banyak darah, lelah, susah dan payah dalam menempuhnya. Tidakkah kalian berpikir? Betapa kerasnya hati kalian sehingga tak ada sedikitpun empati kemudian menghargai? Duh, begitu rapuh ternyata tabiat hati. Bukankah orang semulia sahabat Abu Bakar tergugu sebab menyadari bahwa usianya tak mencukupi untuk sekedar menyentuh kebenaran oleh Rabbnya? Baru kebenaran, belum kebaikan. Dan baru sekedar menyentuh. Bukan meraih. Betapa ia menganggap kecil atas seluruh amal yang jika dengan amal itu ia merasa tersiksa, asal kebenaran itu berasal dari-Mu, maka seumur hidup pun tak kan ditampiknya. Dan betapa rapat ia menutup kemesraannya dengan Allah dari penglihatan manusia. Ia juga tak berbangga meski kabar dijamin syurga oleh Allah terbocorkan kepadanya. Kemudian putri mana yang tak teriris ketika melihat ayahnya yang mulia dihinakan orang yang tidak lebih mulia darinya. Fatimah, putri Rosulullah, menangis tak sudah-sudah ketika mendapati ayahnya pulang dengan tubuh penuh kotoran karena dilempari orang-orang yang tidak beriman. Tapi apa sikap Rosulullah? “Tak apa. Mereka belum memahaminya.” Sepertinya tidak mungkin jika keanggunan semacam ini berasal dari hati yang tak mengharap yang lain selain Allah. Sementara kita? Siapa dan apa yang telah menjamin sesuatu untuk kita? tapi betapa kita telah merasa telah banyak berupaya. Betapa kita telah merasa paling terluka, dan sama sekali tak merasa malu kepada Rabb, kepada Rosul-Nya, dan para pendahulu yang rendah hatinya. Betapa kita telah merasa telah melahirkan kesempurnaan dan kebaikan tersebab jalan lurus yang kita rasa payah menempuhnya. Sedikitpun tak ada perasaan gelisah betapa kecil pengorbanan kita untuk mengganti karuniaNya yang begitu besar. Apakah terbayar dengan amalan yang sangat kecil itu? Dan kita terus berbangga, merasa telah rampung dan tinggal menerima syurga. Merasa segala perkataannya telah berat di hadapan manusia lain sebab tahajudnya. Kalau kata ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya yang berjudul Lapis-Lapis Keberkahan, “Memangnya sekhusyuk apa sholat kita? Bahkan solat subuh yang teramat fardhunya , kita tak terlalu perhatian padanya?” Rajin tahajud tapi subuh teralpa, “Sungguh seumpama pakai sabuk tapi tak pakai celana.” Begitu lanjutnya. Malu. Malu bahwa sesungguhnya kita lebih giat ketika terlihat, lebih berbinar ketika dipuji. Malu bahwa sungguh kita tak lebih bersegera ketika sendiri, dan tak lebih hikmad bahkan tak melakukan amal ketika sepi. Ah, ternyata hati kita memang sulit untuk merasa ringan dan tidak dirumitkan dengan perasaan-perasaan ingin diakui. Tapi tunggu dulu, sepertinya ikhlas bukan soal berat dan ringan. Jika berat dan ringan menjadi parameter, siapakah kita yang berani mengatakan bahwa Nabi Ibrahim tidak ikhlas menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putranya yang sudah sekian lama dinanti kehadirannya, yang ketika Ibrahim menggendongnya maka terlihat seperti kakek yang sedang menimang cucunya. Yang ketika ia telah lahir harus berpisah sebab perintah Allah untuk berjihad ke lain wilayah. Yang ketika telah rampung tugasnya dan kembali dengan sejumlah rindu yang meruah-ruah ingin segera menyaksikan remajanya lama-lama, Allah justru memerintahkan mereka berpisah selamanya. Bukankah tak ada harta yang harganya melebihi seorang anak bagi seorang ayah? tentu saja berat menjalaninya. Barangkali tak terbayangkan kerumpangan hati Ibrahim menerima itu semua. Tapi ternyata Ibrahim memahami bahwa keberatannya ini adalah bagian dari keridhoan-Nya. “Berangkatlah baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. At-Taubah:41) Nah, kalau boleh saya bahasakan ulang, Allah hanya ingin mengatakan, “tak perlu kau pikirkan berat atau ringan. Berbuatlah! buktikan cintamu”. Mungkin seperti itu. Ya, barangkali kita semua paham mengenai ikhlas, mungkin kita juga berani bersumpah bahwa kita berjuang dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Tapi sebentar, sampai di sini izinkan saya mengutip kembali tulisan ust. Salim A. Fillah. “Yang terberat dari ikhlas sesungguhnya adalah saat kita menyadari bahwa dia terletak sejak sebelum kita berbuat, ketika kita sedang berbuat, dan sesudah kita berbuat, seterusnya sampai maut menjemput. Maka menjadi ikhlas adalah runtun perjalanan yang tak kenal henti. Alangkah Maha Pemurah Dia. Alangkah bijaksana Sang Nabi yang diutus-Nya. Allah dan Rasul-Nya ternyata selalu membukakan pintu-pintu harapan agar runtunan menjadi ikhlas bisa terus berjalan. Tak peduli seperti apapun awalan, menjadi ikhlas adalah terus mengaca diri lalu berbenah. Sabda Nabi, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya. Dan sungguh tiap-tiap diri akan memeroleh apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya, dia akan mendapatkan Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka....” Maafkan, karena kita harus memotong sejenak sabda Nabi di jeda ini. Mari bersama bayangkan apa kelanjutannya. Jika Sang Nabi bersabda bahwa yang berhijrah menuju Allah dan rasul-Nya akan mendapatkan Allah dan rasul-Nya, seharusnya beliau katakan bahwa yang berhijrah karena dunia dan wanita, maka ia akan mendapatkan dunia yang ingin digapainya atau wanita yang ingin dipikatnya. ya, begitulah seharunya kalimat beliau sebakdanya. Namun, inilah Nabi pembawa rahmat, yang tak ingin sedikitpun memutus harapan orang-orang tersalah. Dia tidak memapas mereka yang hatinya dipenuhi hasrat akan dunia dan wanita dengan kata-kata hanya akan mendapatkan dunia dan wanita. Ia bentangkan kalimatnya meluas menjadi harapan yang memenuhi timur dan barat. Sabdanya, “Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia niatkan untuk berhijrah.” Alangkah indahnya kesempatan untuk memperbaiki diri, memperbarui niat, dan mengganti motivasi ketika awalan terlanjur tercemar. “Apa yang dia niatkan untuk berhijrah.” Betapa terbukanya kalimat ini. Betapa sejuknya, hingga diri-diri yang alpa ketika berangkat bisa memperbaiki niat dan menata kembali keikhlasan. Suatu ketika, seorang sahabat membukakan lagi untuk kita pintu harapan tentang keikhlasan itu dengan sebuah tanya kepada Sang Nabi. “Ya Rasulullah,” katanya, “ada tiga orang yang berperang bersama engkau. Yang pertama berperang karena penghidupannya yang sempit sehingga dia berharap mendapatkan rampasan perang untuk mengepulkan dapurnya. yang kedua berperang karena bela rasa. Hatinya tidak rela melihat kaumnya diperangi, atau ia merasa tak enak jika tidak membersamai kaumnya dalam perang. Dan yang ke tiga, berperang karena ingin diakui sebagai lelaki gagah berani. Manakah di antara ketiganya, ya Rosulullah, yang bisa disebut fi sabilillah?” Kalau saja kitalah yang bertanya kepada Sang Nabi, dan dalam hati ada maksud untuk menyindir beberapa teman sendiri, maka alangkah kecewa hati ini. Sang Nabi tak dengan jeri menghakimi: “Ketiga-tiganya tak mendapat pahala!” Sekali lagi beliau sabdakan kalimat terbuka yang begitu sejuk, begitu bermakna. “Siapa pun,” kata beliau, “yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dia fisabilillah.” *** Di hati yang ikhlas, ia akan merasa bahkan kelelahannya beramal di ujung sekarat pun tak akan cukup dijadikannya sebagai ungkapan terimakasih atas karunia-Nya yang meluas. Apa tah lagi sampai membeli syurga-Nya. Di hati yang ikhlas karena Allah, tak akan ada kecewa sebab tak ada fadhilah yang dirasa. Di hati yang ikhlas, tak membuat tergesa merasa bahwa diri paling gagal dan menderita. Sebab menyadari bahwa segala dari-Nya tak mungkin jika bukan kebaikan semata. Jikalau harus ditimpa kepayahan yang dianggap buruk pada umumnya, maka yang dianggap buruk itu pun tak lain juga untuk kebaikan baginya. Dan di kekhawatiran ini, Allah masih mengusap punggung kita dengan firman-Nya bahwa, “Segala perbuatan sekecil biji zarah pun akan mendapatkan balasannya.” Ah, tak kurang-kurang Pemurahnya Allah kepada hamba-Nya. Kita yang semestinya membayar hutang tapi seolah Allah lah yang terhutang. Nah, sahabatku, mari bertanya pada masing-masing, benarkah kita sudah ikhlas karena Allah? lalu mengapa masih kecewa ketika dihadang sepi dari pengakuan manusia? di jiwa yang rombeng ini, mari kita mencurigai diri, apakah kita hanya sekedar merasa telah ikhlas, atau memang benar telah ikhlas dalam runtun perjalanan tak kenal henti? Salam ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar